Penulis : Datto Jainun Abdi

Penabekasi.id - Bekasi lagi-lagi dihadapkan pada persoalan klasik yang terus berulang: kekurangan guru. Tapi kali ini bukan soal kekurangan satu-dua orang, ini darurat— 2.600 guru dibutuhkan. Angka ini bukan hanya soal SDM, tapi menyangkut masa depan pendidikan anak-anak kita.

Pemerintah Kota Bekasi, saya akui, telah bergerak cepat. Langkah menjalin kerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan menghadirkan mahasiswa magang sebagai tenaga bantu, patut diapresiasi. Tapi di balik gerak cepat ini, saya justru mempertanyakan satu hal krusial: ke mana peran universitas lokal?

Padahal, kampus-kampus di Bekasi bukan hanya ada, tapi juga relevan. Kita punya Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Marhalah Al Ulya yang fokus pada ilmu kependidikan. Ada Universitas Bani Saleh, Universitas Bhayangkara, Universitas Islam 45, dan Universitas As-Syafi’iyah—semuanya punya jurusan yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Kenapa justru potensi dalam kota sendiri diabaikan?

Ini seperti pergi belanja ke warung sebelah, padahal dapur sendiri penuh bahan berkualitas. Dalam konteks otonomi daerah, keputusan ini terasa janggal. Kalau pemerintah sendiri kurang percaya pada sumber daya lokal, bagaimana masyarakat bisa yakin pada arah kebijakan yang diambil?

Lalu muncul wacana dari legislatif soal penggunaan tenaga outsourcing. Terus terang, ini lebih menggelisahkan. Kita bicara guru—bukan sekadar pekerja yang bisa diganti-ganti. Ada nilai-nilai, karakter, bahkan teladan yang dibentuk lewat sosok guru. Outsourcing mungkin solusi darurat, tapi bukan jawaban jangka panjang.

Saya sepakat dengan Wakil Ketua DPRD Kota Bekasi, Faisal, yang menolak solusi tambal sulam. Ini bukan sekadar soal menutup kekosongan formasi, tapi membangun kualitas pendidikan yang berkelanjutan. Dibutuhkan kebijakan yang menyentuh akar persoalan, bukan hanya mempercantik permukaan.

Jadi, Bekasi butuh apa? Butuh arah. Butuh kemauan untuk memberdayakan potensi lokal. Butuh peta jalan yang jelas dan melibatkan semua elemen—pemerintah, legislatif, kampus-kampus lokal, dan tentu saja masyarakat. Pendidikan terlalu penting untuk dijadikan eksperimen darurat.

Karena kalau masih diselesaikan dengan pola tambal sulam, kita bukan sedang memadamkan api—kita cuma mengibasnya dengan kipas angin.

(Nik)