Penabekasi.id - Bekasi Utara, Pagi di awal April 2025 terasa berbeda. Di sebuah warung kopi sederhana di pinggiran Jakarta, para pedagang dan buruh duduk dengan pandangan tertuju pada televisi tua yang tergantung di sudut ruangan. Dari Washington, suara Donald Trump—yang kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat sejak 20 Januari 2025—menggema dengan nada penuh keyakinan. Pada 2 April 2025, ia mengumumkan kebijakan tarif baru bertajuk "Hari Pembebasan": tarif dasar 10% berlaku sejak 5 April 2025, disusul tarif timbal balik 32% untuk Indonesia pada 9 April 2025. Kebijakan ini, yang menyasar lebih dari 180 negara, bukan sekadar angka di kertas; ia membebani perdagangan internasional, mengganggu rantai pasok, dan memicu volatilitas pasar saham global. Bagi Indonesia, negeri yang selama ini berusaha menjaga keseimbangan di antara raksasa ekonomi dunia, pengumuman ini adalah badai yang mengguncang fondasi ekonomi nasional, menggoyahkan harapan jutaan rakyat yang bergantung pada ekspor untuk hidup.
Kebijakan tarif Trump membawa dampak ekonomi global yang jauh dari sederhana. Tarif tinggi ini menghambat ekspansi perdagangan dunia, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang menjadikan ekspor sebagai urat nadi perekonomian. Pasar Amerika Serikat, yang menyumbang 25 miliar dolar AS dari ekspor Indonesia pada 2023, kini menutup pintunya lebih rapat. Barang-barang seperti tekstil, furnitur, kopi, dan karet—hasil keringat petani, buruh, dan pengrajin—kehilangan daya saing akibat kenaikan harga di pasar Amerika Serikat, kalah oleh Uni Eropa yang hanya dikenai tarif 20% atau Jepang 24%. Ekonom memperkirakan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dapat merosot 20-40% pada 2025, setara dengan kehilangan 5-10 miliar dolar AS. Di balik angka-angka itu, ada cerita nyata: ibu-ibu penjahit yang terpaksa mengurangi jahitan malam, petani kopi yang menatap hasil panen dengan cemas, dan buruh yang menanti kabar PHK. Lebih jauh, kebijakan ini memperparah krisis rantai pasok internasional. Industri manufaktur dan logistik, yang bergantung pada aliran barang lintas negara, menghadapi gangguan besar; biaya impor melonjak, waktu pengiriman memanjang, dan ketidakpastian pasar menjadi hantu yang kian nyata.
Dampaknya meluas melampaui ranah ekonomi. Tarif ini berpotensi memicu inflasi global karena harga barang impor dari Amerika Serikat meningkat tajam, menggerus daya beli konsumen di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, ancaman ini terasa dekat: rupiah yang sudah melemah ke Rp 15.500 per dolar AS pada April 2025 bisa anjlok ke Rp 17.000 atau bahkan Rp 18.000, mendorong kenaikan harga beras, minyak goreng, dan bahan bakar yang selama ini susah payah dijaga. Di banyak negara, pengangguran dan kemiskinan yang memburuk akibat penurunan ekspor dapat memantik krisis sosial dan politik. Bayangkan: jalanan dipenuhi protes, rakyat menuntut jawaban dari pemerintah yang kewalahan menghadapi tekanan ekonomi. Ketidakpastian ini juga mengguncang pasar keuangan global; fluktuasi besar terjadi di indeks saham dan nilai tukar, mendorong investor beralih ke aset aman seperti emas—yang melonjak ke 3.200 dolar AS per troy ons—dan mengurangi aliran modal ke negara berkembang. Neraca perdagangan Indonesia, yang surplus 30 miliar dolar AS pada 2024, kini terancam berbalik menjadi defisit, menambah beban bagi perekonomian yang sudah rapuh.
![]() |
Fajrin (kiri) dan Resdi (kanan) |
Sejarah menawarkan cermin atas situasi ini, sekaligus peringatan yang tak boleh diabaikan. Pada 1930, Smoot-Hawley Tariff Act di Amerika Serikat menaikkan tarif hingga 60%, memicu balasan keras dari Kanada (30-50%) dan Eropa. Hasilnya tragis: perdagangan global runtuh 66% antara 1929 dan 1934, ekspor Amerika Serikat anjlok dari 5,2 miliar dolar AS ke 1,6 miliar dolar AS, dan pengangguran melonjak ke 25%. Depresi Besar memburuk, menjadi luka ekonomi yang berkontribusi pada ketegangan geopolitik menuju Perang Dunia II. Kini, pada 2025, aroma perang tarif serupa tercium kembali. Trump menargetkan China dengan tarif 54%, Kanada dan Meksiko 25%, Vietnam 46%, serta Indonesia 32%. Pasar saham dunia terguncang, negara-negara mengancam balasan, dan ketidakpastian global membesar. Indonesia berdiri di persimpangan: bagaimana kita bertahan tanpa kehilangan pijakan, sambil menjaga hubungan dengan Amerika Serikat, China, dan mitra lainnya di tengah badai yang tak kunjung reda?
Pandangan Adam Smith, Bapak Ekonomi Modern, menjadi lensa kritis untuk menilai kebijakan ini. Dalam The Wealth of Nations (1776), Smith menentang tarif karena mengganggu efisiensi ekonomi dan merugikan semua pihak. Ia menulis, “Jika negara lain dapat menyediakan barang lebih murah daripada kita, lebih baik kita membelinya dengan hasil industri kita sendiri.” Bagi Smith, proteksionisme hanya menciptakan harga tinggi dan pilihan terbatas bagi konsumen, sementara tarif pembalasan—seperti yang kini mengemuka—dapat memicu konflik yang merugikan bersama. Ia memandang perdagangan sebagai ikatan persahabatan antarbangsa, bukan sumber permusuhan. “Ketika perdagangan seharusnya menjadi jembatan persatuan, ia justru menjadi ladang pertikaian,” tulisnya. Prinsip ini bertolak belakang dengan langkah Trump, yang tampaknya lebih mengutamakan kepentingan domestik jangka pendek ketimbang stabilitas global. Pandangan Smith mengingatkan kita bahwa perang tarif bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang bagaimana dunia saling terhubung—dan bagaimana hubungan itu kini terancam putus.
Di Indonesia, dampaknya terasa hingga ke akar rumput. Di pasar tradisional Solo hingga Medan, seorang ibu penjual batik bertanya dengan nada resah, “Jika Amerika tidak lagi membeli, kita jual ke mana?” Tangannya memegang gulungan kain yang kini terasa lebih berat dari biasanya. Di kawasan industri Bekasi dan Tangerang, mesin-mesin yang biasanya berdengung kini seperti menahan napas; stok barang menumpuk, pengusaha kecil gelisah, dan 500.000 hingga 1 juta pekerja terancam kehilangan pekerjaan pada akhir 2025. Di pedesaan, petani karet di Sumatera dan kopi di Lampung menghitung ulang pendapatan dengan wajah penuh tanda tanya. Di kota, para analis memperingatkan: jika pasar Amerika Serikat menyusut, efek domino akan melanda—dari defisit neraca perdagangan hingga inflasi yang mengintai harga kebutuhan pokok. Tantangan ini bukan sekadar statistik; ia adalah wajah manusia, cerita rakyat kecil yang hidup dari hari ke hari. Dalam situasi ini, kita tidak boleh menyerah pada keputusasaan. Sebagai pengambil keputusan, saya membayangkan duduk dengan peta dunia terbentang, merancang strategi bertajuk "Ketahanan Dinamis dan Diplomasi Ekonomi" untuk menjaga 270 juta jiwa tetap dapat makan, bekerja, dan bermimpi.
Diversifikasi Pasar: Mencari Panggung Baru
Langkah pertama adalah mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat. Kapal-kapal dari Tanjung Priok harus berlayar ke tujuan baru. Uni Eropa, dengan tarif Amerika Serikat hanya 20%, dapat menjadi pasar potensial untuk furnitur dan tekstil—bayangkan batik Pekalongan menghiasi toko-toko di Paris atau kayu Kalimantan tiba di Rotterdam. Saya akan mempercepat perjanjian Indonesia-EU CEPA hingga akhir 2025 dan memanfaatkan RCEP untuk menembus pasar Asia lebih dalam. Pasar seperti Timur Tengah yang haus kopi, Afrika yang membutuhkan tekstil, serta Amerika Latin yang bisa membeli karet akan disasar melalui kampanye "Indonesia ke Segala Penjuru". Targetnya jelas: tambahan 10 miliar dolar AS ekspor dalam 18 bulan. Lebih dari itu, perusahaan yang meninggalkan China akibat tarif 54% akan diundang ke Batam dan Morowali dengan insentif pajak dan kemudahan izin, menciptakan lapangan kerja baru dan menggantikan pasar Amerika Serikat yang hilang.
Penguatan Domestik: Membangun Ketahanan Dalam
Langkah kedua adalah memperkuat fondasi dalam negeri. Program hilirisasi, yang telah berhasil di sektor nikel, akan diperluas ke tekstil dan furnitur. Petani kapas di Nusa Tenggara dapat memasok kebutuhan lokal, sementara bengkel-bengkel di Bandung merakit komponen sederhana untuk elektronik. Impor bahan baku ditargetkan turun 15% dalam dua tahun, mengurangi ketergantungan pada rantai pasok global yang rapuh. Bagi usaha kecil, saya tawarkan pinjaman berbunga 2-3% dan pelatihan ekspor ke ASEAN—bayangkan pedagang Tanah Abang menjual sepatu ke Bangkok atau tas ke Manila. Infrastruktur pelabuhan dan tol laut dipercepat untuk memangkas biaya logistik 20%, sementara ekspor sawit ke India dan batu bara ke pasar netral ditingkatkan untuk menjaga cadangan devisa. Ini bukan sekadar bertahan; ini adalah upaya membangun benteng ekonomi yang kokoh.
Diplomasi Cerdas: Menari di Antara Raksasa
Langkah ketiga adalah diplomasi yang bijaksana. Ke Washington, saya usulkan pengecualian tarif untuk kopi dan karet, menawarkan pembelian alat militer atau turbin angin Amerika Serikat sebagai imbalan. Ke Beijing, saya minta investasi untuk pabrik ekspor yang mengimbangi kehilangan pasar barat. Di ASEAN, saya ajak Vietnam dan Malaysia membentuk blok dagang netral, menawarkan pasar 670 juta jiwa sebagai penyeimbang. Di G20, Indonesia akan menyuarakan penghentian perang tarif dengan lantang, memosisikan diri sebagai penengah yang pragmatis, bukan korban pasif yang hanya menerima dampak.
Proyeksi dan Tantangan
Jika strategi ini berhasil, dalam 18 bulan, pertumbuhan ekonomi hanya turun di bawah 2% dari proyeksi 5%, pengangguran tidak melebihi 6%, dan stabilitas politik domestik terjaga. Ketergantungan pada Amerika Serikat akan berkurang dari 12% menjadi 8%, digantikan oleh pasar baru yang lebih beragam. Namun, risiko tetap mengintai: tekanan dari Amerika Serikat atau China untuk memihak, resesi global yang tak terhindarkan, atau keluhan pengusaha lokal yang terpukul bisa mengguncang rencana ini. Semua itu menuntut kehati-hatian dan ketangguhan.
Saya membayangkan seorang anak petani di Lampung berdiri di kebun kopi, tersenyum kecil di bawah sinar matahari pagi. Di tangannya ada harapan—bukan hanya untuknya, tetapi untuk kita semua. Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam perang tarif ini. Kita harus menari dengan lincah, menjadikan badai ini panggung untuk membuktikan bahwa kita mampu bertahan, bahkan bersinar. Sejarah 1933 mengajarkan apa yang bisa hilang; 2025 adalah kesempatan kita menulis cerita baru—tentang negeri yang tidak hanya bertahan, tetapi juga bercahaya di tengah gelapnya dunia.
Penulis : DonRFK & Fajrin Yunistya
(Nik)
0 Komentar